RSS

Fungsi Trigonometri 2

Fungsi Trigonometri 2

 
Leave a comment

Posted by on January 10, 2012 in CATEGORI-E

 

Upaya Membangkitkan Nasionalisme Melalui Pendidikan

Upaya Membangkitkan Nasionalisme Melalui Pendidikan Buat halaman ini dalam format PDF Cetak halaman ini

H. Endang Sumantri

Guru Besar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

Pendahuluan
Dalam era globalisasi, seluruh aspek kehidupan bangsa terguncang dahsyat hingga daya adaptif kita sebagai suatu bangsa dalam suatu sistem sangat terpengaruh oleh perubahan, perubahan yang sangat cepat. Dalam dunia pendidikan, proses akulturasi dan perubahan perilaku bangsa mau tidak mau kita terdorong menjadi masyarakat yang memasuki complex adaptive system.

Era reformasi dalam konteks nasional terasa getarannya seperti perubahan radikal, terasa pula ada penjungkirbalikan nilai-nilai yang telah kita miliki, menjadi porak poranda, dan hampir tercabut sampai ke akar-akarnya. Hal ini kita rasakan sejak tahun 1998, dan kita bertanya apakah ini demokrasi atau reformasi, kita bergumam bahwa ini bukan demokrasi, dan bukan reformasi.

Kita merasakan krisis multidimensional melanda kita, di bidang politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar, nilai-nilai agama, budaya dan ideologi terasa kurang diperhatikan, terasa pula pembangunan material dan spiritual bangsa tersendat, discontinue, unlinier dan unpredictable.

Dalam keadaan seperti sekarang ini sering tampak perilaku masyarakat menjadi lebih korup bagi yang punya kesempatan, bagi rakyat awam dan rapuh tampak beringas dan mendemostrasikan sikap antisosial, antikemapanan, dan kontraproduktif serta goyah dalam keseimbangan rasio dan emosinya.

Bagi kita bangsa yang masih sadar, sabar dan tawakal perlu melaksanakan diagnosis terhadap sikap dan perilaku yang menyimpang dari norma dan moral yang kurang terkendali ini. Perlu dipola terapi yang tepat melalui senyum karakter bangsa dan pendekatan keakraban nasional, mengikuti ungkapan seorang negarawan Amerika Serikat (Edward Kennedy) “ We are one nation in a sorrow”. Mari dalam rasa keprihatinan nasional sekarang ini kita bersatu padu agar derita dari segala bencana yang menimpa bangsa Indonesia baik fisik mau pun mental terutama dalam kesulitan himpitan ekonomi.

Terapi Mental Bangsa Dengan Jiwa Optimis
Langkah dan upaya penyembuhan dari penyimpangan perilaku fisik dan mental psikologis bangsa ini kita mulai dengan pendekatan agama, pendidikan dan kesejahteraan material dan spiritual. Yang utama memerlukan perhatian adalah membangkitkan kesadaran jiwa untuk menggairahkan peran hati nurani kita sebagai mahluk Tuhan, sebagai pribadi dan sebagai bangsa Indonesia. Kemudian perbaiki manajemen pendidikan nasional, semua harus sepakat mau dibawa kemana bangsa ini dengan pendidikan, semua berhemat dengan biaya pendidikan. Semua harus jadi pendidik, jadi guru dan sekaligus jadi murid. Inilah revolusi pembelajaran yang inovatif yang dapat mendorong anak didik untuk belajar yang menyenangkan aktif dan produktif.

Dengan demikian diperlukan paradigma baru dalam manajemen pendidikan, mengembangkan interaksi edukatif antara keluarga, sekolah dan masyarakat agar terbina proses pembinaan pendidikan bagi anak didik dalam tanggung jawab bersama. Kesan nilai edukatif pada jiwa dan intelek anak didik harus yang menjadi kebutuhan dalam menata cita-cita kehidupan yang bermanfaat lahir batin, karena mereka memiliki kesan nilai dan moral kehidupan yang disebut “The Golden Rules” (Lawrence Kohlberg, 1976).

Paradigma pendidikan masa sekarang yang sangat kita butuhkan adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi dan spirit. Kalau seluruh bangsa berkehendak untuk mengembalikan suasana persatuan dan kesatuan bangsa yang kondusif dan patriotik, maka sangatlah urgen untuk menata kembali politik pendidikan nasional. Tingkatkan dan kembangkan kembali pendidikan politik bangsa yang patriotis, agamis, ideologis, dan berjiwa optimis.

Sebagai sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan paradigma tersebut, paper ini ingin merekomendasikan untuk mengembangkan jiwa patriotisme, kesadaran berbangsa dan negara dengan:

  1. Pendidikan Nilai (agama, ideologi, dan budaya) Bangsa,
  2. Pendidikan Karakter, dan
  3. Pendidikan Politik Bagi Generasi Masa Depan Bangsa.

Pelaksanaannya dalam program pembelajaran, dipercayakan kepada sekolah (Kepala Sekolah dan Guru) untuk mencoba setiap mata pelajaran berbasis karakter kebangsaan.

Mengembangkan pendidikan berdasarkan karakter (character base education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti: pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan Budaya Bangsa. Nilai-Nilai yang diajarkan dalam Pendidikan Karakter Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.

Moral Knowing. Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing, yaitu:

  1. moral awareness,
  2. knowing moral values,
  3. perspective taking,
  4. moral reasoning,
  5. decision making, dan
  6. self knowledge.

Moral feeling. Terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter, yakni:

  1. conscience,
  2. self- esteem,
  3. emphaty,
  4. loving the good,
  5. self-control, dan
  6. humility.

Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu: terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing, yaitu:

  1. kompetensi (competence),
  2. keinginan (will),
  3. kebiasaan (habit).

 

Untuk itu, dalam deklarasi Aspen dihasilkan enam nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di Amerika, yang meliputi:

  1. dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity),

  2. memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect),

  3. bertanggung jawab (responsible),

  4. adil (fair),

  5. kasih sayang (caring), dan

  6. warga negara yang baik (good citizen).

 

Tentang pendidikan karakter ini pun, dengan kepiawaian guru dapat dijadikan rujukan untuk bahan pengayaan dalam proses pembelajaran setiap mata pelajaran dan perilaku serta keteladanan orang dewasa, karena pendidikan karakter lebih mendalam tentang pendidikan moral.

Latar Belakang Sejarah Kebangkitan Nasional
Sejarah manusia adalah sejarah konflik dan perang, karena sejarah perang adalah setua sejarah manusia. Berbicara tentang perdamaian adalah berbicara tentang perang, dalam arti perdamaian adalah menunda perang, sinonim dengan istirahat sebelum manusia mulai berperang lagi. Oleh sebab itu, seolah-olah yang dianggap normal dalam kehidupan manusia adalah berperang. Hal ini pun terjadi di Indonesia antara tahun 1900-1942.

Pernyataan di atas didukung oleh data yang berasal dari buku Wars of the World (1940) yang menampilkan data bahwa antara tahun 1496 SM sampai tahun 1861, suatu kurun waktu selama 3.500 tahun terdapat 227 tahun damai dan 3.130 tahun perang. Dengan kata lain, untuk setiap tahun damai ada 13 tahun perang.

Sejak tahun 1861 sampai sekarang, dunia mengalami lagi ratusan dan bahkan ribuan perang dan bentuk-bentuk kekerasan bersenjata lainnya. Di antara yang terpenting adalah peperangan karena penjajahan Barat terhadap wilayah-wilayah koloninya, PD I, PD II, Perang Arab-Israel, Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Teluk, dan lain-lain.

Melihat realitas hubungan internasional di atas, dapat dikatakan bahwa perang dan damai adalah ibarat “dua sisi dari satu keping mata uang” yang sama. Keduanya adalah konsep yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Hal ini diperkuat oleh adagium “Civic Pacem Para Bellum” (Kalau mengeksploitasi manusia dan alam yang ada di dalamnya). Atau dengan kata lain, praktek perang semacam itu dinamakan dengan “kolonialisme”.

Pengaruh pergolakan dunia menjelang Perang Dunia I dan II langkah pertama menuju kebangkitan nasional yaitu tiga dasawarsa pertama abad XX bukan hanya menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu pernyataan kebijakan penjajahan yang baru. Masalah-masalah dalam masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan yang begitu besar sehingga dalam masalah-masalah politik, budaya, dan agama rakyat Indonesia menempuh jalan baru. Perubahan yang cepat terjadi di semua wilayah yang baru saja ditaklukkan oleh Belanda. Akan tetapi, dalam hal gerakan-gerakan antipenjajahan dan pembaharuan yang mula-mula muncul pada masa ini, Jawa dan daerah Minangkabau di Sumatera menarik perhatian yang khusus. Perubahan-perubahan yang terjadi di sana sedemikian rupa sehingga sejarah Indonesia modern memasuki zaman baru dan memperoleh kosa kata baru. Alasan-alasan yang mendorong Jawa dan Minangkabau menjadi pelopor dalam perubahan yang mendadak ini cukup jelas. Tingkatan kekacauan dan perubahan sosial di Jawa telah dijelaskan di dalam bab-bab terdahulu. Minangkabau telah mengalami pembaharuan besar-besaran dalam agama Islam yang pertama di Indonesia di bawah kaum Padri, telah mengalami perubahan-perubahan yang besar sejak dipaksakannya kekuasaan Belanda, dan memiliki tradisi untuk berhubungan secara aktif dengan dunia luar yang telah membukanya bagi ide-ide baru. Ketika raja-raja Bali dan kaum ulama Aceh masih berjuang untuk mempertahankan tatanan yang lama dari upaya penaklukan penjajah, maka orang-orang Minangkabau dan rakyat Jawa meletakkan dasar-dasar bagi suatu tatanan baru.

Kunci perkembangan pada masa ini adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas. Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk kepemimpinan yang baru, sedangkan definisi yang baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi. Pada tahun 1927 telah terbentuk suatu jenis kepemimpinan Indonesia yang baru dan suatu kesadaran diri yang baru, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar. Para pemimpin yang baru terlibat dalam pertentangan yang sengit satu sama lain, sedangkan kesadaran diri yang semakin besar telah memecah belah kepemimpinan ini lewat garis-garis agama dan ideologi. Pihak Belanda mulai menjalankan suatu tingkat penindasan baru sebagai jawaban terhadap perkembangan-perkembangan tersebut. Periode ini tidak menunjukkan pemecahan masalah, tetapi merubah pandangan kepemimpinan Indonesia itu mengenai diri sendiri dan masa depannya.

Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917) adalah pembangkit semangat organisasi yang pertama itu. Sebagai seorang lulusan sekolah ‘Dokter Jawa’ di Weltvreden (yang sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA), dia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah (‘Ratna yang berkilauan’) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan pembaca priyayi dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalah-masalah dan status mereka. Selain seorang yang berpendidikan Barat Wahidin adalah seorang pemain musik Jawa klasik (gamelan) dan wayang yang berbakat. Dia memandang bahwa kebudayaan Jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Budha, rupanya bependapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam dan berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda.

Pada tahun 1907 Wahidin berkunjung ke STOVIA dan di sana, di salah satu lembaga terpenting yang menghasilkan priyayi rendah Jawa, dia melihat adanya tanggapan yang bersemangat dari murid-murid sekolah tersebut. Diambil keputusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah dan pada bulan Mei 1908 diselenggarakan suatu pertemuan yang melahirkan Budi Utomo. Nama Jawa ini (yang seharusnya dieja Budi Utama) diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh organisasi tersebut sebagai het schoone striven (ikhtiar yang indah), tetapi menurut konotasi-konotasi bahasa Jawa yang beraneka ragam nama itu juga mengandung arti cendekiawan, watak, atau kebudayaan yang mulia.

Budi Utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura; dengan demikian, mencerminkan kesadaran administrasi kedua pulau itu dan mencakup masyarakat Sunda dan Madura yang kebudayaannya mempunyai kaitan erat dengan Jawa. Bukan bahasa Jawa melainkan bahasa Melayu yang dipilih sebagai bahasa resmi Budi Utomo. Namun demikian, kalangan priyayi Jawa dan (sampai tingkat yang jauh lebih kecil) Sunda adalah yang menjadi inti dukungan Budi Utomo. Rasa keunggulan budaya orang Jawa cukup sering muncul ke permukaan; bahkan di Bandung ada cabang-cabang tersendiri untuk anggota-anggota orang-orang Jawa dan Sunda. Budi Utomo tidak pernah memperoleh landasan rakyat yang nyata di antara kelas-kelas bawah dan mencapai jumlah keanggotaan tertinggi, yaitu hanya 10.000 orang, pada akhir tahun 1909. Organisasi ini pada dasarnya juga merupakan suatu lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan; seperti yang akan terlihat di bawah ini, organisasi tersebut jarang memainkan peran politik yang aktif.

Pada bulan Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Pada saat itu Wahidin sudah hanya menjadi tokoh bapak saja dan bermunculan suara-suara baru untuk mengatur organisasi tersebut. Suatu kelompok minoritas dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo (1885-1943) yang juga seorang dokter dan yang sifatnya radikal. Dia ingin agar Budi Utomo menjadi partai politik yang berjuang untuk mengangkat rakyat pada umumnya daripada hanya golongan priyayi, dan kegiatan-kegiatannya lebih tersebar di seluruh Indonesia daripada terbatas di Jawa dan Madura saja. Tjipto juga tidak mengagumi kebudayaan Jawa sebagai dasar bagi peremajaan kembali. Dr. Radjiman Wediodiningrat (1879-1951), seorang ‘Dokter Jawa’ lain, mengemukakan ide-idenya pula. Dia dipengaruhi kebudayaan Jawa, dialektika G.W.F. Hegel, subyektivisme I. Kant, dan anti rasionalisme H. Bergson, dan sudah menganut doktrin-doktrin mistik Teosofi sebagai perpaduan Timur dan Barat. Teosofi adalah salah satu di antara gerakan-gerakan yang menyatukan elite Jawa, orang-orang Indo-Eropa, dan orang-orang Belanda pada masa itu, dan sangat berpengaruh di kalangan banyak anggota Budi Utomo. Akan tetapi, baik Tjipto maupun Rajiman tidak berhasil mendapatkan kemenangan. Tjipto tampaknya merupakan seorang radikal yang berbahaya dan Radjiman rupanya seorang reaksioner yang kaku. Dipilih suatu dewan pimpinan yang didominasi oleh para pejabat generasi tua yang mendukung pendidikan yang semakin luas bagi kaum priyayi dan mendorong kegiatan pengusaha Jawa. Tjipto terpilih sebagai anggota dewan, tetapi mengundurkan diri pada tahun 1909 dan akhirnya bergabung dengan Indische Partij yang radikal.

Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya; suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Budi Utomo atau semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Budi Utomo itu. Sepanjang sejarahnya (organisasi ini secara resmi dibubarkan pada tahun 1935) sebenarnya Budi Utomo seringkali tampak sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi (dikutip dari M.C. Ricklefs, 1989: 228-251).

Sejak itulah, tepatnya tanggal 20 Mei 1908 kedewasaan politik bangsa Indonesia yang ditopang oleh rasa ingin merdeka mulai tampak dengan segala cara, gaya dan asas, serta sifat organisasi. Dari mulai asas kepriyayian yang intelek “Budi Oetomo”. Selanjutnya muncul organisasi-organisasi politik, sosial, keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan yang semuanya merupakan dinamika ‘kebangkitan nasional’ sebagai bentuk aneka perlawanan kepada penjajah hingga menembus tahun 1920-an, 1930-an, dan 1940-an hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Pendidikan dan Pendidikan Politik
Pendidikan
Pendidikan sendiri menurut Lengeveld adalah membimbing anak didik dari tingkat belum dewasa menuju ke kedewasaan. Berarti kriteria keberhasilan pendidikan adalah kedewasaan.

Ki Hajar Dewantara, seorang Bapak Taman Siswa, menganggap pendidikan sebagai “daya upaya untuk mewujudkan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran (intelek)) dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya” (Wasty Soemanto Hendayat Soetopo, 1982:3).

Konsep Model Pendidikan di Indonesia
Sejak berkembangnya kebudayaan manusia Indonesia, konsep pendidikan anak pada masa prenatal mau pun pos-natal melalui pendidikan informal/keluarga telah terpola secara kultural. Apalagi setelah Civilized Human Being di Indonesia itu menganut agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini “benang emas” pengaruh keagamaan tetap dominan baik dalam konsep maupun dalam tujuan pendidikan. Bahkan sejak lama sebelum Indonesia merdeka lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia telah sanggup melaksanakan pendidikan formal dengan tujuan dan konsep serta sistem pendidikan yang matang. Konsep pendidikan formal ala Indonesia, terutama bagi pendidikan umum mulai berkembang sejak lahirnya pergerakan nasional yang dipelopori oleh “Boedi Oetomo”. Hal ini bangkit karena bangsa Indonesia yakin bahwa untuk mencapai kemerdekaan, melenyapkan penjajahan harus dilawan dengan kecerdikan diplomasi bukan hanya dengan mengangkat senjata. Kecerdikan dan kearifan itu hanya bisa dimiliki melalui pendidikan intelektual dan moral.

Konsep pendidikan yang menonjol baik yang dapat bertahan sampai sekarang mau pun yang hanya tinggal pengaruhnya dan mewarnai/diserap oleh konsep pendidikan nasional masa kini, antara lain:
a) Pendidikan Muhammadiyah
Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah ini membuka tabir masyarakat terisolasi akibat penjajahan adalah kehidupan beragama secara terbuka, memasyarakat dan bersatu, kehidupan sosial, kehidupan politik, dan perhatian terhadap kepentingan nasional. Dengan singkat konsep pendidikan ini mendasarkan diri kepada asas sosial edukatif, religius, dan nasional. (Pemuka : K.H.A. Dahlan).

b) Pendidikan Taman Siswa
Konsep pendidikan Taman Siswa yang secara operasional dimulai pada tanggal 3 Juli 1922 lebih bersifat positif nasional, pedagogis, serta kulturil. Tujuan awal dari lembaga pendidikan ini adalah jelas membawa bangsa Indonesia mencapai tujuan politik yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Asas pendidikan Taman Siswa ditekankan pada “kodrat alam”, yang berarti bahwa hak anak akan kebebasannya dinyatakan tidak tanpa batas, termasuk batas lingkungan kebudayaan. Pertumbuhan anak didik menurut kodratnya berarti bertumbuh dan berkembang menurut bakat dan pembawaannya. Konsep pendidikan ini mengembangkan asas pendidikan “Pancadarma Taman Siswa” yang meliputi: (i) asas kemerdekaan, (ii) asas kodrat alam, (iii) asas kebudayaan, (iv) asas kebangsaan, dan (v) asas kemanusiaan (Pemuka: Ki Hajar Dewantara).

c) Pendidikan INS Kayutanam
Konsep pendidikan yang dipolakan oleh Indische Nationale School Kayutanam merupakan konsep pendidikan yang lebih memperhatikan pemupukan bakat anak. Konsep ini terpengaruh oleh cita-cita John Dewey yang pragmatis dan Kerschensteiner dengan “Arbeitschule”-nya dengan didorong oleh keyakinan bahwa Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya, mesti semuanya ada gunanya. Bila tidak berguna pasti karena kita tidak dapat menggunakannya. Dasar pendidikan adalah “aktivitas” dengan tujuan “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri (self help).” Akan tetapi, sistem ini hanya berkembang sebagian pada konsep PLS sekarang (Pemuka: Muhammad Sjafei).

d) Pendidikan Nasional setelah Indonesia Merdeka
Bila kita kaji lebih teliti, maka konsep pendidikan nasional Indonesia yang kita kenal sekarang ini merupakan hasil ramuan halus dari nilai-nilai budaya bangsa dengan ragi penyegar pengaruh teori-teori dan konsep pendidikan yang diresepsi secara teliti dan hati-hati dari unsur-unsur pendidikan Barat yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa tersebut. Kemudian, apabila kita kaji pula azas dan tujuan dari konsep pendidikan nasional Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang mengandung jalur konsistensi yang pada prinsipnya berasas Pancasila dan dijadikan upaya bagi menuju kesejahteraan bangsa.

Sampai saat ini, konsepsi pendidikan nasional ditinjau dari segi kebutuhan pembangunan bangsa adalah:

(1) Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
(2) Pendidikan bersifat semesta, artinya meliputi semua segi kehidupan manusia dan unsur kebudayaan: moral dan etika, logika, estetika, keterampilan, dan sebagainya. Menyeluruh artinya seluruh kegiatan pendidikan meliputi semua jenis dan jenjang pendidikan, di dalam dan di luar sekolah. Terpadu artinya seluruh usaha dan kegiatan pendidikan jelas kaitan fungsional antara jenjang dan jenis serta serasi dengan pembangunan nasional.

(3) Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan masyarakat dan oleh karena itu harus menjadi alat pelestarian dan pembangunan kebudayaan dan sebagai alat untuk mencapai tujuan masyarakat.

Pendidikan Politik
Ada pun yang dimaksud dengan pendidikan politik yang dikemukakan oleh Alfian (1986:235) dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, sebagai berikut: ”Pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun”.

Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan politik menurut Instruksi Presiden No. 12 tahun 1982 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Politik Generasi muda adalah sebagai berikut: “Pendidikan politik merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga harus merupakan bagian proses perubahan kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, efektif, dan efisien”.

Dengan demikian pendidikan politik adalah proses penurunan nilai-nilai dan norma-norma dasar dari ideologi suatu negara yang dilakukan dengan sadar, terorganisir, dan berencana dan berlangsung kontinyu dari satu generasi kepada generasi berikutnya dalam rangka membangun watak bangsa (national character building).

Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai Pancasila, tiada lain merupakan cerminan hati nurani dan sifat khas karakteristik bangsa, bukanlah nilai-nilai yang secara hakiki lahir pada saat kemerdekaan, melainkan telah tumbuh dan berkembang melalui proses sejarah yang panjang. Nilai ini berasal dari kodrat budaya dan menjadi milik seluruh rakyat. Hal ini tercermin dalam watak, kepribadian, sikap, dan tingkah laku bangsa Indonesia.

Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan isi dan arah serta pengertian kepada proses penghayatan nilai-nilai yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa pendidikan politik menekankan kepada usaha pemahaman tentang nilai-nilai yang etis normatif, yaitu dengan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan landasan dan motivasi bangsa Indonesia serta dasar untuk membina dan mengembangkan diri guna ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan pembangunan bangsa dan negara.

Pemasyarakatan nilai-nilai pendidikan politik di Indonesia sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum masa kemerdekaan melalui berbagai kegiatan organisasi dan gerakan politik, baik di dalam mau pun di luar negeri yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia guna memperoleh hak politiknya yang dibelenggu oleh mekanisme penjajahan.

Sejak tahun 1908, partai-partai politik dan organisasi massa lainnya tumbuh dengan pesatnya. Organisasi politik pertama yang disebut-sebut sebagai organisasi modern di Indonesia berdiri pada tahun 1908 yaitu Budi Utomo. Mula-mula lapangan geraknya adalah organisasi ini bergerak pula dalam bidang politik. Timbulnya angkatan 1908 ini, dalam sejarah Indonesia memiliki ciri khas, yaitu merintis perjuangan kemerdekaan Indonesia menggunakan organisasi.

Pada tahun 1912 muncullah Serikat Islam di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto, Indische Partij di bawah pimpinan Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat, dan Ciptomangunkusumo. Tahun 1927 lahir Partai Nasional Indonesia atau PNI yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, tahun 1931 lahir Partai Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Sartono, tahun 1931 lahir Partai Nasional Indonesia atau dikenal dengan PNI Baru yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir, tahun 1937 lahir Gerak Indonesia atau Gerindo yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin dan Mohammad Yamin.

Dalam periode pergerakan ini, muncul suatu angkatan yang berperan sebagai pematangan kesadaran politik rakyat, yaitu angkatan 1928. Sebutan itu didasarkan atas dicetuskannya Sumpah Pemuda oleh para pemuda yang berkonggres di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda merupakan tonggak penting dalam proses pematangan kesadaran kebangsaan menuju terwujudnya proklamasi kemerdekaan.

Memasuki masa sesudah proklamasi kemerdekaan, pemasyarakatan nilai-nilai politik berlangsung dan berkembang terus dengan tantangan perjuangan yang semakin berat dalam rangkaian melanjutkan usaha menyadarkan masyarakat akan kepentingan politik bangsa.

Pemasyarakatan nilai-nilai politik ini lebih diarahkan guna mengalihkan semangat perjuangan kemerdekaan kepada usaha-usaha pengisian kemerdekaan dan kemajuan kehidupan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Asas Pendidikan Politik
Sebelum kita membahas asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan politik, terlebih dahulu kita kaji landasan pokok pendidikan politik bagi generasi muda Indonesia.

Landasan pokok yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan politik bagi generasi muda adalah landasan yang pada prinsipnya telah mendasari kehidupan nasional bangsa Indonesia. Agak berbeda dengan landasan-landasan yang dipergunakan dalam bidang lainnya, pendidikan politik sesuai dengan ciri khasnya, memasukkan pula landasan kesejarahan.

Ada pun landasan pokok penyelenggaraan pendidikan politik bagi generasi muda menurut Inpres No. 12 Tahun 1982 adalah sebagai berikut:
a) Landasan ideologi adalah Pancasila.
b) Landasan konstitusional adalah UUD 1945.
c) Landasan historis adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan Agustus 1945.

Asas adalah prinsip-prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam perencanaan dan pelaksanaan sesuatu/kegiatan. Jadi yang dimaksud dengan asas-asas pendidikan politik adalah prinsip-prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan politik. Asas-asas pokok yang dipergunakan dalam melaksanakan dan menyelenggarakan pendidikan politik pada prinsipnya didasarkan atas asas yang sesuai dengan keadaan serta sifat bangsa Indonesia. Ada pun asas-asas pelaksanaan pendidikan politik bagi generasi muda tersebut seperti tercantum dalam Inpres No. 12 Tahun 1982, adalah sebagai berikut:
a) Asas Umum
Pada dasarnya pelaksanaan pendidikan politik bagi generasi muda dilandaskan kepada asas-asas yang sesuai dengan keadaan serta sifat bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, yang dipadukan dengan dinamika perkembangan kehidupan nasional dan kemajuan yang telah dicapai sehingga sasaran yang dikehendaki dengan pendidikan politik ini akan tercapai secara berdaya guna dan berhasil guna serta dimanfaatkan secara tepat guna oleh masyarakat dan diwujudkan dalam tingkat partisipasi yang sebesar-besarnya.

b) Asas Demokrasi
Penyampaian bahan pendidikan politik bagi generasi muda dilakukan melalui jalan mendidik, mengajak, menampung, serta menyalurkan gagasan yang berkembang. Ia harus berciri demokrasi budaya Pancasila atas dasar komunikasi timbal-balik yang penuh tanggung jawab dan musyawarah untuk mufakat dalam perbedaan pendapat yang dilakukan dengan sesadar-sadarnya sebagai bangsa.

c) Asas Keterpaduan

Pendidkan politik bagi generasi muda harus menunjang terbinanya persatuan dan kesatuan bangsa serta menjamin stabilitas serta kepemimpinan nasional. Dalam dinamikanya, pendidikan politik harus terpadu, selaras, serasi, dan seimbang dengan strategi nasional sehingga akan dapat tercapai suatu tata kehidupan nasional yang semakin maju dan bersatu.

d) Asas Manfaat

Pendidikan politik bagi generasi muda diselenggarakan sedemikian rupa, baik dalam bahan mau pun caranya sehingga hasil yang dicapai dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat. Ia harus dapat meningkatkan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, mau pun bangsa dan pengembangan pribadi.

e) Asas Bertahap, Berjenjang, dan Berkelanjutan
Penyelenggaraan pendidikan politik bagi generasi muda dilakukan melalui penahanan secara berjenjang, baik dari segi pertumbuhan alamiah manusia dari usia bawah mau pun dari segi pertumbuhan kehidupan masyarakat melalui organisasi yang ada atau golongan pendidikan, mulai dari pimpinan sampai kepada yang lebih besar di bawahnya. Ia semata-mata harus didasarkan atas kemampuan obyektif manusia. Di samping itu, pendidikan politik harus dilaksanakan secara terus-menerus dan harmoni, sebagai suatu proses pematangan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia yang makin maju dan berkembang.

f) Asas Aman
Pendidikan politik bagi generasi muda menunjang kehidupan nasional dengan semakin tingginya kesadaran berbangsa dan bernegara dan terpeliharanya laju pembangunan nasional. Sebagai kondisi, ia harus dapat menciptakan ketahanan dan ketangguhan manusia Indonesia dan masyarakat secara keseluruhan terhadap setiap kendala dan tantangan yang dihadapi. Ia harus aman dari berbagai pengaruh negatif yang berasal dari dalam dan luar negeri.

Maksud dan Tujuan Pendidikan Politik Masa Kini
Menumbuhkan kembali semangat kebangsaan, cinta tanah air, kebanggaan berbangsa dan bernegara, menyegarkan kembali jiwa yang cinta damai dan cinta kemerdekaan. Menjunjung tinggi ideologi negara dan menghormati kepada pemerintah disertai tawakal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sedangkan yang menjadi tujuan pendidikan politik bagi generasi muda sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 12 tahun 1982 adalah sebagai berikut:
Tujuan pendidikan politik ini ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang perwujudannya akan tercermin dalam sejumlah ciri watak dan kepribadiannya sebagai berikut:

  1. Sadar akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap kepentingan bangsa dan negara yang terutama diwujudkan melalui keteladanan.

  2.  Secara sadar taat pada hukum dan Undang-Undang Dasar.

  3.  Memiliki disiplin pribadi, sosial, dan nasional.

  4.  Berpandangan jauh ke depan serta memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih maju, yang didasarkan kepada kemampuan objektif bangsa.

  5.  Secara sadar mendukung sistem kehidupan nasional secara demokratis.

  6.  Aktif dan kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam usaha.

  7.  Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan keanekaragaman bangsa.

  8.  Sadar akan perlunya pemeliharaan lingkungan hidup dan alam secara selaras, serasi, dan seimbang.

  9.  Mampu melaksanakan penilaian terhadap gagasan, nilai, serta ancaman yang bersumber dari luar Pancasila dan UUD 1945 atas dasar pola pikir atau penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945.

Hal ini berarti melalui kegiatan pendidikan politik diharapkan terbentuk warga negara yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus juga berkesadaran yang tinggi sebagai warga negara yang baik, sadar akan hak dan kewajiban serta memiliki tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pencapaian tujuan pendidikan politik tersebut tidak dapat dilihat secara langsung namun memerlukan waktu yang cukup lama, hal ini disebabkan karena pendidikan politik berhubungan dengan aspek sikap dan perilaku seseorang.[]

 
Leave a comment

Posted by on December 4, 2011 in CATEGORI-E

 

Model Pendidikan Karakter

Gerakan Pendidikan Karakater di Indonesia ternyata tidak hanya gencar disosialisasikan dan diterapkan di lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah, di lingkungan Perguruan Tinggi pun tampaknya sedang digelorakan menjadi bagian integral dalam proses perkuliahan. Begitulah, kesan saya setelah membaca sebuah buku yang berjudul “MODEL PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI” terbitan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, 2010.

 

Buku ini ditulis oleh  Prof. Dr. Dasim Budimansyah, M.Si, Dr. Yadi Ruyadi, M.Si dan Dr. Nandang Rusmana, M.Pd, yang mengangkat model pendidikan karakter di Universitas Pendidikan Indonesia melalui tiga modus:

Pertama, melalui penguatan Pendidikan Kewarganegaraan dalam kapasitasnya sebagai mata kuliah umum yang menjadi menu wajib bagi seluruh mahasiswa yang diberikan pada masa-masa awal mahasiswa belajar di bangku kuliah. Model yang pertama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menggunakan inovasi pembelajaran Project Citizen untuk membina karakter demokratis dan partisipatif.

Kedua, mengoptimalkan Layanan Bimbingan Konseling kepada para mahasiswa baik di dalam maupun di luar perkuliahan yang diarahkan untuk mendorong para mahasiswa agar mampu menyelesaikan masalah dirinya sendiri dan tumbuhnya kesadaran akan segala potensi yang dimilikinya. Melalui berbagai pendekatan, game, dan strategi, potensi-potensi mahasiswa dapat dikembangkan secara optimal, sehingga mahasiswa memiliki kepercayaan diri untuk berkembang.

Ketiga, menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik yang merupakan menu wajib pada masa-masa akhir mahasiswa menimba ilmu. Pendidikan karakter melalui KKN Tematik diarahkan untuk memantapkan berbagai karakater baik yang telah dibina di universitas melalui proses belajar sambil melakoni (learning by doing) dalam kehidupan masyarakat.

Meski buku ini ditulis dalam konteks perguruan tinggi, tetapi dalam hal-hal tertentu saya melihat adanya kemungkinan untuk bisa diadopsi dalam lingkungan pendidikan dasar dan menengah, khususnya dalam modus yang kedua, yaitu pendidikan karakter melalui layanan Bimbingan dan Konseling.

Klik disini

 
Leave a comment

Posted by on December 4, 2011 in CATEGORI-E

 

UU Tentang Guru dan Dosen

UU no 14 2005 Guru Dosen

 
Leave a comment

Posted by on December 4, 2011 in CATEGORI-E

 

Strategi Pembelajaran Matematika

STRATEGIPEMBELAJARANMATEMATIKA

 
Leave a comment

Posted by on December 4, 2011 in CATEGORI-E

 

Incorporating Authentic Assessment

Incorporating Authentic Assessment

Authentic assessment is a measurement approach in which learning objectives are assessed in the most direct, relevant means possible. As such, authentic assessments are criterion-referenced measures designed to promote the integration of factual knowledge, higher-order understanding and relevant skills. Authentic assessments are often based on performance, requiring students to utilize their knowledge in a meaningful context. In authentic assessment, performance expectations guide learning activities and are made clear to students prior to instruction. Generally, authentic assessment is an ongoing process involving both self and external evaluation as well as the gradual compilation of material into a holistic product. While there are many differences between traditional and authentic assessment, it is important to remember that traditional and authentic assessments are complementary models; both types of assessment are important to producing well-rounded, informed students.

Traditional Assessment

Authentic Assessment

Generally relies on forced-choice, written measures

Promotes integration of various written and performance measures

Relies on proxy measures of student learning to represent target skills

Relies on direct measures of target skills

Encourages memorization of correct answers

Encourages divergent thinking in generating possible answers

Goal is to measure acquisition of past knowledge

Goal is to enhance development of meaningful skills

Curriculum directs assessment

Assessment directs curriculum

Emphasis on developing a body of knowledge

Emphasis on ensuring proficiency at real-world tasks

Promotes “what” knowledge

Promotes “how” knowledge

Provides a one-time snapshot of student understanding

Provides an examination of learning over time

Emphasizes competition

Emphasizes cooperation

Targets simplistic skills or tasks in a concrete, singular fashion

Prepares students for ambiguities and exceptions that are found in realistic problem settings

Priority on summative outcomes or product

Priority on the learning sequence or process

Goals of Authentic Assessment:

  • Enhance the development of real-world skills

  • Encourage higher order cognitive skills (analysis, synthesis, evaluation)

  • Promote active construction of creative, novel ideas and responses

  • Encourage emphasis on both the process and product of learning

  • Promote the integration of a variety of related skills into a holistic project

  • Enhance students’ability to self-assess their own work and performance

Advantages

Disadvantages

Focuses on analytical skills and the integration of knowledge

Time-intensive to manage, monitor, and coordinate

Promotes creativity

Difficult to coordinate with mandatory educational standards

Reflection of real-world skills and knowledge

Challenging to provide consistent grading scheme

Encourages collaborative work

Subjective nature of grading may lead to bias

Enhances written and oral presentation skills

Unique nature may be unfamiliar to students

Direct match of assessment, instructional activities, and learning objectives

May not be practical for large enrollment courses

Emphasizes integration of learning over time

Challenging to develop for various types of courses and ranges of objectives


Ideas for Implementing Authentic Assessment:

When integrating authentic assessment into the course mix, the most important consideration is measurement of the target learning objectives. For some objectives, a written measurement may be the most authentic assessment; for other objectives, alternate assessments may be required. There are no set rules concerning the design and implementation of authentic assessment; instructors are encouraged to approach assessment via creative, unique means. The following ideas are designed to stimulate novel approaches to authentically assess course-specific learning objectives.

Performance Assessment — Performance assessments measure students’ ability to demonstrate relevant skills in an authentic context. Performance assessments are particularly useful when learning objectives target a behavioral outcome or the development of a content-specific skill.

Portfolios — A portfolio is a collection of student work documenting learning over time. Portfolios highlight student improvement and document a studentÂ’s ability to self-assess, revise, and assemble a final product. In addition to showcasing a studentÂ’s ability, portfolios also provide insight into student motivation and effort.

Group Tasks — In real-world contexts, individuals rarely work in isolation; rather, groups work together toward related objectives and outcomes. As such, authentic group tasks may provide a more realistic assessment of the ability to work collaboratively to apply skills and concepts to solve complex problems.

Brief Investigations — Brief investigations are designed to promote active exploration of various ideas and theories. These types of investigations typically measure mastery of basic concepts via the ability to interpret, describe, hypothesize, explain, or predict future relationships. Brief investigations go beyond the recall of knowledge to emphasize the ability to manipulate basic information in novel settings.

Self-Assessment — Self-assessments encourage active review of personal performance via structured evaluation criteria. The goal of self-assessments is to develop skills for reflection, evaluation, and revision of individual processes and products.

Guidelines for Creating an Authentic Assessment:

Authentic assessments are backward or reverse planning models of instruction. Rather than create assessments based on instructional activities, assessments are developed to meet standards then instructional activities are used to guide students toward the target performance. Ideally, authentic assessments begin with the identification of performance standards. Then, course-specific learning objectives are designed to reflect essential components of these standards. At this point, instructors must identify target performance or skills that would indicate successful achievement of the learning objectives. While identifying target performance, it is equally important to develop a set of criteria that differentiate between various levels of mastery. These criteria are then used to develop a detailed scoring rubric. The key to this procedure is that instructional activities are not designed until AFTER a complete assessment is in place. This criterion-referenced approach sets a clear set of standards, objectives, and performance measures to be targeted by the instructional activities. At the completion of the instructional sequence, the authentic assessment process begins.

1. Identify standards

Standards should be meaningful with real-world applicability.

2. Develop learning objectives

Learning objectives should identify specific, measurable components of the broader standards. Generally, each standard will have several learning objectives

3. Identify target performance or skills

Performance or skills must match the target learning objectives.
Generally, authentic assessments promote activities requiring higher order cognitive skills.

4. Develop performance criteria

Performance criteria should be clear, concise, and openly communicated to students.

5. Create scoring rubric

A detailed, clear scoring rubric provides guidance for students as well as ensuring consistent, fair grading procedures.

6. Design instructional activities

Instruction should directly guide students toward desired performance.

7. Implement authentic assessment

Assessment should be a reiterative process of applying knowledge, understanding basis for knowledge, and demonstrating relevant skills.
Quality authentic assessments emphasize both process and product.
A compilation of multidimensional, varied assessments provide a more accurate and valid measure of student learning than a singular assessment.
Authentic assessments should include opportunities for self-assessment and revision.

Resource Links:

Integration of the Disciplines: Authentic Assessment (Oregon State University)

Professional Development Sequence in

The CCTL Online curriculum is designed to increase the teaching effectiveness of community college faculty and build the instructional leadership of supervisory personnel. This curriculum is focused on the effective design and implementation of quality instruction, contemporary instructional technologies, and other instruction using innovations such as peer-based collaboration and active learning strategies. This sequence of courses will collectively provide participants with a foundation of instructional theories, skills, and practices to support existing professional development efforts in community colleges. The CCTL Online curriculum is a cost-effective professional development model that is accessible to all faculty and instructional leaders in community colleges, irrespective of field of specialization or location.This curriculum is designed for community college faculty and instructional leaders who desire to expand their knowledge and skills in instructional strategies and methods. The curriculum is also appropriate for faculty supervisors who make decisions about classroom instruction.

 

 
Leave a comment

Posted by on December 4, 2011 in CATEGORI-E

 

Penelitian Survey

Penelitian Survey

Penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sample dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1998). Survei merupakan studi yang bersifat kuantitatif yang digunakan untuk meneliti gejala suatu kelompok atau perilaku individu. Survey adalah suatu desain yang digunaan untuk penyelidikan informasi yang berhubungan dengan prevalensi, distribusi dan hubungan antar variabel dalam suatu popilasi. Pada survey tidak ada intervensi, survey mengumpulkan informasi dari tindakan seseorang,pengetahuan, kemauan, pendapat, perilaku, dan nilai.
Penggalian data dapat melalui kuisioner, wawancara, observasi maupun data dokumen. Penggalian data melalui kuisioner dapat dilakukan tanya jawab langsung atau melalui telepon, sms, e-mail maupun dengan penyebaran kuisioner melalui surat. Wawancara dapat dilakukan juga melalui telepon, video confeence maupun tatap muka-langsung. Keuntungan dari survey ini adalah dapat memperoleh berbagai informasi serta hasil dapat dipergunkan untuk tujuan lain. Akan tetapi informasi yang didapat sering kali cenderung bersifat superfisial. Oleh karena itu pada penelitian survey akan lebih baik jika dilaksanakan analisa secara bertahap.
Pada umumnya survei menggunakan kuesioner sebagai alat pengambil data. Survei menganut aturan pendekatan kuantitatif, yaitu semakin sample besar, semakin hasilnya mencerminkan populasi.
Penelitian survey dapat digunakan untuk maksud penjajakan (eksploratif), menguraikan (deskriptif), penjelasan (eksplanatory) yaitu untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesa, evaluasi, prediksi atau meramalkan kejadian tertentu di masa yang akan dating, penelitian operational dan pengembangan indikaor-indikator social.

Tujuan penelitian survey adalah untuk memahami (meneliti?) tentang karakteristik dari seluruh kelompok yang hendak diteliti atau populasi dengan meneliti sebagian (subset) dari kelompok populasi tersebut yang selanjutnya disebut dengan sampel. Banyak pembaca yang sudah familiar dengan hasil penelitan survey di bidang politik, walaupun yang disurvey hanya sedikit jumlahnya. Karena akan tidak mungkin untuk mensurvey seluruh populasi di negeri kami (AS), maka para pengumpul pendapat umum (pollsters) memilih sampel kecil yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mewakili atau merepresentasikan populasi secara keseluruhan.Hasil dari survey terhadap sampel tersebut kemudian digeneralisasikan atau diberlakukan kepada populasi. Penelitian survey biasanya didefinisikan sebagai sebuah penelitian atau penelitian tentang kelompok besar melalui penelitian langsung dari subset (sampel) dari  kelompok tersebut.

Penelitian Hubungan/korelasional (minimal 2 variabel penelitian).
Penelitian korelasional dimaksudkan untuk mencari atau menguji hubungan antara variabel. Peneliti mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkenalkan, menguji berdasarkan teori yang ada. Desain yang sering digunakan adalah cross-sectinal.
Penelitian korelasional bertujuan mengungkapkan hubungan korelatif antar variabel, Hubungan korelatif mengacu pada kecenderungan bahwa variasi suatu variabel diikuti variasi variabel yang lain. Dengan demikian, dalam rancangan penelitian korelasional peneliti melibatkan minimal dua variabel.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis alternatif (H1) yang berbunyi ”Ada hubungan antara variabel x dan y” dan hipotesis nol (HO) yang berbunyi ” Tidak ada hubungan antara variabel x dan y”.
Skema Penelitian Deskriprif Korelasional

Variabel X ———–Variabel Y
Interpretasi Hub

Penilaian dari interpeasi ini adalah semakin mendekati nilai positif atau negatif satu (-/+ 1) adalah semakin signifikan atau semakin erat hubungannya.
Nilai ( + 1 )berarti semakin tinggi nilai variabel x semakin tinggi
Nilai variabel y dan Nilai( – 1) berarti semakin rendah nilai vari abel x semakin rndah pula nilai variabel y nya.
Pengertian Penelitian Korelasional

Penelitian korelasi adalah suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan, apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih. Adanya hubungan dan tingkat variabel ini penting, karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian.

Menurut Gay dalam Sukardi (2008:166) menyatakan bahwa; penelitian korelasi merupakan salah satu bagian penelitian ex-postfacto karena biasanya peneliti tidak memanipulasi keadaan variabel yang ada dan langsung mencari keberadaan hubungan dan tingkat hubungan variabel yang direfleksikan dalam koefisien korelasi. Walaupun demikian ada peneliti lain seperti di antaranya Nazir dalam Sukardi (2008:166); mengelompokkan penelitian korelasi ke dalam penelitian deskripsi, karena penelitian tersebut juga berusaha menggambarkan kondisi yang sudah terjadi. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggambarkan kondisi sekarang dalam konteks kuantitatif yang direfleksikan dalam variabel.

Penelitian korelasi mempunyai tiga karakteristik penting untuk para peneliti yang hendak menggunakannya. Tiga karakteristik tersebut, adalah:

  1. Penelitian korelasi tepat jika variabel kompleks dan peneliti tidak mungkin melakukan manipulasi dan mengontrol variabel seperti dalam penelitian eksperimen.

  2. Memungkinkan variabel diukur secara intensif dalam setting (lingkungan) nyata.

  3. Memungkinkan peneliti mendapatkan derajat asosiasi yang signifikan.

Tujuan Penelitian Korelasional

Tujuan penelitian korelasional menurut Suryabrata (1994:24) adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi. Sedangkan menurut Gay dalam Emzir (2007:38); Tujuan penelitian korelasional adalah untuk menentukan hubungan antara variabel, atau untuk menggunakan hubungan tersebut untuk membuat prediksi.

Studi hubungan biasanya menyelidiki sejumlah variabel yang dipercaya berhubungan dengan suatu variabel mayor, seperti hasil belajar variabel yang ternyata tidak mempunyai hubungan yang tinggi dieliminasi dari perhatian selanjutnya.

Jenis Penelitian Komparasi/ Perbedaan
Penelitian komparasi atau perbedaan adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk membedakan atau membandingkan hasil penelitian antara dua kelompok penelitian.
Ada dua hal kelompok penelitian yaitu dua kelompok penelitian yang berbeda dan tidak saling berhubungan dan dua kelompok penelitian yang saling berhubungan.
Analisis yang digunakan adalah:
1. Analisis T. Test, Analisis Wilcoson atau mc nemar analisa ini digunakan untuk uji beda dua kelompok untuk data interval , rasio, dua kelompok yang berbeda tidak saling berhubungan (independent-sampel T test).
2. Analisis Paired t test, Jika dua kelompok mempunyai anggota yang sama dan mempunyai korelasi maka dipergunakan uji sampel berpasangan .

Penelitian Tindakan Kelas
Apakah Penelitian Tindakan Kelas itu?

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau disebut juga dengan Classroom Action

Research (CAR) adalah penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan

memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. Fokus PTK adalah pada siswa

atau pada proses belajar mengajar yang terjadi di kelas. Hasil dari PTK ini dapat

ditulis sebagai karya tulis ilmiah.

Apakah Tujuan PTK?

Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang

terjadi di kelas dan meningkatkan kegiatan nyata Guru dalam pengembangan

profesionalnya. Secara rinci, tujuan PTK antara lain (1) Meningkatkan mutu isi,

masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah, (2) Membantu

Guru dan tenaga kependidikan lainnya mengatasi masalah pembelajaran, (3)

Meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan, (4)

Menumbuhkembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta

sikap proaktif dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan dan pembelajaran

secara berkelanjutan.

Mengapa dilakukan PTK?

PTK merupakan pendekatan bagi pemecahan masalah yang bukan sekedar

trial and error, tetapi PTK menggarap masalah-masalah faktual yang dihadapi Guru

dalam pembelajaran. Dalam PTK, guru tidak perlu meninggalkan tugas utamanya.

Ia akan bekerja sebagai peneliti untuk mengembangkan iklim akademik dan

profesionalismenya, khususnya jika dilakukan secara kolaboratif dengan peneliti

dari Perguruan Tinggi.

Keuntungan PTK ialah (1) dapat segera dilaksanakan pada saat muncul

kebutuhan, (2) dilaksanakan dengan tujuan perbaikan, (3) murah biayanya, (4)

disain lentur/fleksibel, (5) analisis data seketika, dan (6) manfaatnya jelas dan

langsung.

 

Masalah Apa yang Dapat Dikaji melalui PTK?

Masalah yang dikaji adalah masalah yang (1) berasal dari kondisi nyata di

lapangan, (2) benar-benar mendesak untuk dilaksanakan, (3) menunjukkan

harapan (berpotensi) untuk dapat diselesaikan, (4) penyelesaiannya

merupakan perbaikan kualitas proses dan hasil pembelajaran, (5) cakupan masalah

untuk PTK cukup luas, diantaranya: masalah belajar siswa di sekolah seperti

permasalahan belajar di kelas, kesalahan pembelajaran, miskonsepsi, mis-strategi,

dan peningkatan hasil belajar siswa, (6) pengembangan profesionalisme Guru

dalam peningkatan mutu perancangan, pelaksanaan dan evaluasi program

pengajaran, (7) pengelolaan dan pengendalian, misalnya pengenalan teknik

modifikasi perilaku, teknik memotivasi, dan teknik pengembangan potensi diri,

(8) desain dan strategi pembelajaran di kelas, misalnya pengelolaan dan prosedur

pembelajaran, implementasi dan inovasi metode pembelajaran, atau interaksi di

dalam kelas, partisipasi orangtua dalam proses belajar siswa, (9) penanaman dan

pengembangan sikap serta nilai-nilai, misalnya pengembangan pola berpikir ilmiah

dalam diri siswa, (10) pengembangan pribadi siswa, pendidik, dan tenaga

kependidikan lainnya (termasuk dalam tema ini antara lain: peningkatan

kemandirian dan tanggungjawab peserta didik, peningkatan keefektifan hubungan

antara pendidik-siswa dan orangtua dalam PBM, peningkatan konsep diri peserta

didik), (11) alat bantu, media dan sumber belajar, taermasuk dalam tema ini,

antara lain masalah penggunaan media, perpustakan, sumber belajar di dalam/di

luar kelas, peningkatan hubungan antara sekolah dan masyarakat, (12) sistem

asesmen dan evaluasi proses dan hasil pembelajaran, termasuk dalam tema ini

antara lain masalah evaluasi awal dan hasil pembelajaran, pengembangan

instrumen asesmen berbasis kompetensi, dan (13) masalah kurikulum, misalnya

implementasi kurikulum, interaksi guru-siswa, siswa-materi ajar, siswa-lingkungan

belajar, urutan penyajian materi pokok.

Apa yang dapat dihasilkan dari PTK?

Dari PTK dapat dihasilkan upaya-upaya (1) peningkatan atau perbaikan

terhadap kinerja belajar siswa di sekolah, (2) peningkatan atau perbaikan mutu

proses pembelajaran di kelas, (3) peningkatan atau perbaikan kualitas penggunaan

media, alat bantu, dan sumber belajar lainnya, (4) peningkatan atau perbaikan

kualitas prosedur dan alat evaluasi untuk mengukur proses dan hasil belajar siswa,

(5) peningkatan atau perbaikan terhadap masalah-masalah pendidikan anak di

sekolah, dan (6) peningkatan atau perbaikan kualitas penerapan kurikulum dan

pengembangan kompetensi siswa di sekolah.

 
Leave a comment

Posted by on December 4, 2011 in CATEGORI-E

 

Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)

Pembelajaran Matematika Realistik (PMR)

Latar belakang pembelajaran matematika realistik

Pembelajaran matematika yang akhir-akhir ini sedang marak dibicarakan adalah Realistic Mathematics Education (RME)  atau Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). RME diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di Belanda. Gagasan pendekatan pembelajaran matematika dengan realistik ini tidak hanya populer di Negeri Belanda saja, banyak negara maju telah menggunakan pendekatan baru yaitu pendekatan realistik. Matematika realistik banyak ditentukan oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Dua pandangan penting beliau adalah ‘mathematics must be connected to reality and mathematics as human activity ’. Pertama, matematika harus dekat terhadap siswa dan harus relevan dengan situasi kehidupan sehari-hari. Kedua, ia menekankan bahwa matematika sebagai aktivitas manusia, sehingga siswa harus di beri kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas semua topik dalam matematika.

PMR pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu. Lebih lanjut Soedjadi menjelaskan bahwa yang dimaksud realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat dipahami atau diamati peserta didik lewat membayangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut juga kehidupan sehari-hari peserta didik.

Realistic Mathematics Education adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang ‘real‘ bagi siswa, menekankan keterampilan ‘proses of doing mathematics’, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (‘student inventing‘ sebagai kebalikan dari ‘teacher telling’) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini peran guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir, mengkomunikasikan, melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain.

Menurut Marpaung (2001:3), PMR dilandasi oleh pandangan bahwa siswa harus aktif, tidak boleh pasif. Siswa harus aktif mengkonstruksi sendiri pengetahuan matematika. Siswa didorong dan diberi kebebasan untuk mengekspresikan jalan pikirannya, menyelesaikan masalah menurut idenya, mengkomunikasikannya, dan pada saatnya belajar dari temannya sendiri.

Dari uraian di atas, jelas bahwa dalam PMR pembelajaran tidak dimulai dari definisi, teorema atau sifat-sifat kemudian dilanjutkan dengan contoh-contoh, seperti yang selama ini dilaksanakan di berbagai sekolah. Namun sifat-sifat, definisi dan teorema itu diharapkan seolah-olah ditemukan kembali oleh siswa melalui penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran. Jadi dalam PMR siswa didorong atau ditantang untuk aktif bekerja, bahkan diharapkan dapat mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuan yang diperolehnya.

Prinsip pembelajaran matematika realistik

Gravemeijer (1994:90-91), mengemukakan bahwa ada tiga prinsip kunci (utama) dalam PMR. Ketiga prinsip tersebut dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

# Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention and  progressive mathematizing)

Prinsip ini menghendaki bahwa, dalam PMR melalui penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal pembelajaran, dengan bimbingan dan petunjuk guru yang diberikan secara terbatas, siswa diarahkan sedemikian rupa sehingga, seakan-akan siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika, sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika itu ditemukan.

Prinsip ini mengacu pada pandangan kontruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar.

# Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)

Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena didaktik, yang menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu materi matematika untuk diajarkan dengan pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi materi itu yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya materi itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi secara progresif.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip ke-2 PMR ini menekankan pada pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan materi-materi matematika kepada siswa. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kecocokan masalah kontekstual yang disajikan dengan: (1) materi-materi matematika yang diajarkan dan (2) konsep, prinsip, rumus dan prosedur matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran.

# Mengembangkan  sendiri model-model (self developed models)

Prinsip ini berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan matematika informal dengan pengetahuan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu,  sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa.

Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip atau jelas terkait dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari re-invention dan sekaligus menunjukkan bahwa sifat bottom up mulai terjadi. Model-model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk yang lebih baik menuju ke arah pengetahuan matematika formal. Dalam PMR diharapkan terjadi urutan belajar yang bottom up, dengan urutan:

“dari situasi nyata” – “model dari situasi itu”-“model ke arah formal”

“pengetahuan formal” (Soedjadi, 2001 b: 4).

Karakteristik pembelajaran matematika realistik

Sebagai operasionalisasi ketiga prinsip utama PMR di atas, menurut Freudenthal (dalam Gravemeijer, 1994:114-115), PMR memiliki lima karakteristik, diuraikan sebagai berikut:

  1. Menggunakan masalah kontekstual (the use of context). Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual sehingga memungkinkan siswa menggunakan pengalaman sebelumnya dan pengetahuan awal yang dimilikinya secara langsung, tidak dimulai dari sistem formal. Masalah kontekstual yang diangkat sebagai materi awal dalam pembelajaran harus sesuai dengan realitas atau lingkungan yang dihadapi siswa dalam kesehariannya yang sudah dipahami atau mudah dibayangkan. Menurut Treffers dan Goffree (dalam Suherman, dkk., 2003:149-150), masalah kontekstual dalam PMR memiliki empat fungsi, yaitu: (1) untuk membantu siswa dalam pembentukan konsep matematika, (2) untuk membentuk model dasar matematika dalam mendukung pola pikir siswa bermatematika, (3) untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber dan domain aplikasi matematika dan (4) untuk melatih kemampuan siswa, khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata (realitas). Realitas yang dimaksud di sini  sama dengan kontekstual.

  2. Menggunakan instrumen vertikal seperti model, skema, diagram dan simbol-simbol (use models, bridging by vertical instrument). Istilah model berkaitan dengan situasi dan model matematika yang dibangun sendiri oleh siswa (self developed models), yang merupakan jembatan bagi siswa untuk membuat sendiri model-model dari situasi nyata ke abstrak atau dari situasi informal ke formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah kontekstual yang merupakan keterkaitan antara model situasi dunia nyata yang relevan dengan lingkungan siswa ke dalam model matematika. Sehingga dari proses matematisasi horizontal dapat menuju ke matematisasi vertikal.

  3. Menggunakan kontribusi siswa (student contribution). Siswa diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan berbagai strategi informal yang dapat mengarahkan pada pengkontruksian berbagai prosedur untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, kontribusi yang besar dalam proses pembelajaran diharapkan  datang dari siswa, bukan dari guru. Artinya semua pikiran atau pendapat siswa sangat diperhatikan dan dihargai.

    1. Proses pembelajaran yang interaktif (interactivity). Mengoptimalkan proses belajar mengajar melalui interaksi antar siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan sarana dan prasarana merupakan hal penting dalam PMR. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang ditemukan sendiri oleh siswa. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka melalui proses belajar yang interaktif.

    2. Terkait dengan topik lainnya (intertwining). Berbagai struktur dan konsep dalam matematika saling berkaitan, sehingga keterkaitan atau pengintegrasian antar topik atau materi pelajaran perlu dieksplorasi untuk mendukung agar pembelajaran lebih bermakna. Oleh karena itu dalam PMR  pengintegrasian unit-unit pelajaran matematika merupakan hal yang esensial (penting). Dengan pengintegrasian itu akan memudahkan siswa untuk memecahkan masalah. Di samping itu dengan pengintegrasian dalam pembelajaran, waktu pembelajaran menjadi lebih efisien. Hal ini dapat terlihat melalui masalah kontekstual yang diberikan.

Langkah-langkah pembelajaran matematika realistik

Fauzi (2002:) mengemukakan langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, sebagai berikut:

  1. Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.

  2. Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.

  3. Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja, siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.

  4. Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.

  5. Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.

Langkah-langkah PMR

Soedjadi (2001:3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika realistik juga diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu dapat diwujudkan dengan cara (1) mengoptimalkan keikutsertaan unsur-unsur proses belajar mengajar, dan (2) mengoptimalkan keikutsertaan seluruh sense peserta didik. Salah satu kemungkinan adalah dengan memberi kesempatan kepada siswa untuk dapat menemukan atau mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang akan dikuasainya. Salah satu upaya guru untuk merealisasikan pernyataan di atas adalah menetapkan langkah-langkah pembelajaran yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik PMR.

Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR serta memperhatikan berbagai pendapat tentang proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR di atas, maka disusun langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PMR sebagai berikut:

Langkah 1. Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah yang diberikan tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa.

Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah karakteristik pertama yaitu menggunakan masalah kontekstual sebagai titik tolak dalam pembelajaran, dan karakteristik keempat yaitu interaksi.

Langkah 2. Menyelesaikan masalah kontekstual

Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual,  melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. Selanjutnya siswa bekerja menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penyelesaian siswa yang satu dengan yang lainnya.  Guru mengamati, memotivasi, dan memberi bimbingan terbatas, sehingga siswa dapat memperoleh penyelesaian masalah-masalah tersebut. Karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini yaitu karakteristik kedua menggunakan model.

Langkah 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka  secara berkelompok, selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. Pada tahap ini, dapat digunakan siswa untuk berani mengemukakan pendapatnya meskipun pendapat tersebut berbeda dengan lainnya.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik ketiga yaitu menggunakan  kontribusi siswa (students constribution) dan karakteristik keempat yaitu  terdapat interaksi (interactivity) antara siswa dengan siswa lainnya.

Langkah 4. Menyimpulkan

Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah realistik yang diselesaikan.

Karakteristik pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah adanya interaksi (interactivity) antara siswa dengan guru (pembimbing).

Ciri PMR

Fauzan (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran yang menggunakan PMR memiliki beberapa ciri, yaitu:

  1. Matematika dipandang sebagai kegiatan manusia sehari-hari, sehingga memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari (contextual problem) merupakan bagian yang esensial.

  2. Belajar matematika berarti bekerja dengan matematika (doing mathematics).

  3. Siswa diberi kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematika di bawah bimbingan orang dewasa (guru).

  4. Proses belajar mengajar berlangsung secara interaktif dan siswa menjadi fokus dari semua aktivitas di kelas.

  5. Aktivitas yang dilakukan meliputi: menemukan masalah-masalah kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter).

Kelebihan dan kesulitan implementasi PMR

Sebagaimana setiap pendekatan, strategi maupun metode pembelajaran, di satu sisi memiliki berbagai kelebihan, namun juga memiliki kesulitan. Demikian halnya dengan PMR.

# Kelebihan pembelajaran matematika realistik

Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran matematika realistik, yaitu:

  1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.

  2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

  3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.

  4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.

# Kesulitan dalam implementasi pembelajaran matematika realistik

Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan PMR dapat muncul justru menimbulkan kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu:

  1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR.

  2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

  3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

  4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

Walaupun pada pendekatan PMR memiliki kesulitan-kesulitan dalam upaya implementasinya, namun penulis optimis bahwa kendala-kendala tersebut hanya bersifat sementara. Hal ini sangat tergantung dari upaya dan kemauan yang sungguh-sungguh dari guru, serta respons siswa untuk menerapkannya pada kegiatan belajar mengajar di kelas, kiranya berbagai kesulitan tersebut lambat laun dapat diatasi.

PMR untuk Mengajarkan materi Aritmetika Sosial

Dalam bagian ini dipaparkan contoh implementasi PMR dalam mengajarkan topik Aritmetika Sosial khususnya dalam mencapai indikator kompetensi dasar yaitu “Menggunakan bentuk Aljabar dalam pemecahan masalah aritmetika sosial yang sederhana”.

Implementasi PMR ini dilakukan dengan mengikuti 4 (empat) langkah operasional, yaitu:

Memahami masalah kontekstual

Guru memberikan masalah kontekstual untuk memahami masalah yang harga jual, harga beli, untung, dan rugi. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa.

Memecahkan masalah kontekstual

Untuk menuntun pemikiran siswa kearah pengertian harga beli, harga jual dan cara menentukan untung dan rugi, maka pertanyaan-pertanyaan dalam setiap masalah itu perlu dirinci. Siswa secara individu diminta memecahkan masalah “Pedagang Buah” dan “Sepeda Motor”. Masalah-masalah yang dimaksud adalah:

Masalah “Pedagang Buah”.

Pak Badu adalah seorang pedagang buah. Ia membeli 10 kg jeruk dengan harga Rp100.000,00. Kemudian ia menjual jeruk tersebut dengan harga Rp12.000,00 per kg.

  1. Berapa harga beli untuk 10 kg jeruk tersebut?

  2. Berapa harga jual untuk 10 kg jeruk tersebut?

  3. Apakah harga jual lebih besar dari harga beli? Atau sebaliknya?

  4. Untung atau rugikah Pak Badu?

  5. Berapa besar keuntungan atau kerugian Pak Badu?

Masalah “Sepeda Motor”.

Pak Andi membeli sebuah sepeda motor merk Vega R dengan harga Rp12.000.000,00. Beberapa bulan kemudian karena kebutuhan yang mendesak, sepeda motor tersebut dijual kembali dengan harga Rp 9.000.000,00.

  1. Berapa harga beli sepeda motor tersebut?

  2. Berapa harga jual sepeda motor tersebut?

  3. Apakah harga beli lebih besar dari harga jual? Atau sebaliknya?

  4. Untung atau rugikah Pak Andi?

  5. Berapa besar keuntungan atau kerugian Pak Andi?

Pada tahap ini siswa dibimbing untuk menemukan kembali konsep matematika melalui masalah kontekstual yang diberikan, yaitu “pengertian harga beli dan harga jual serta cara menentukan besar untung atau rugi” melalui ungkapan dengan kata-kata sendiri. Selain itu, pada tahap ini siswa juga diarahkan untuk membentuk dan menggunakan model sendiri guna memudahkan menyelesaikan masalah.

Membandingkan dan mendiskusikan jawaban

Melalui masalah ke-1 siswa diharapkan dapat memahami pengertian harga beli, harga jual, keuntungan dan cara menentukan besar keuntungan dalam jual beli dengan mendiskusikan secara berkelompok sehingga diperoleh jawaban yang  benar, begitu juga dengan permasalahan ke-2 siswa dapat memahami pengertian kerugian dan cara menentukan besar kerugian dalam jual beli dengan cara diskusi kelompok.

Kedua masalah tersebut beserta langkah-langkah tuntunan seperlunya, dimuat dalam Lembar Kerja Siswa (LKS). Sedangkan urutan pembelajaran lengkap dimuat dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rencana pembelajaran itu juga memuat rincian kegiatan yang perlu dijalani siswa baik secara individu maupun melalui diskusi sesama siswa atau dengan guru.

Menyimpulkan

Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang “pengertian dan hubungan harga pembelian, harga penjualan, untung, dan rugi”. Selanjutnya dibahas untung dan rugi.

Implementasi PMR setting kooperatif untuk mengajarkan materi Aritmetika Sosial dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut.

  1. Penyajian masalah “Pedagang Buah” dan “Sepeda Motor”. Siswa diminta untuk memahami masalah-masalah tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian-bagian yang belum dipahami siswa (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar).

  2. Secara individu siswa memecahkan kedua masalah menurut cara sendiri. Selanjutnya untuk membimbing siswa mengonstruksi pengertian  harga jual, harga beli, untung, dan rugi, maka siswa memecahkan masalah-masalah tersebut dengan tuntunan LKS (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar).

  3. Dengan komunikasi interaktif, guru mengarahkan siswa untuk mencermati keterkaitan antara “harga beli dan harga jual” dengan “untung dan rugi”.  Melalui pengarahan tersebut diharapkan siswa dapat menyimpulkan bahwa “cara menentukan besar keuntungan adalah harga jual – harga beli, sedangkan cara menentukan besar kerugian adalah harga beli –  harga jual” (fase 4 pembelajaran kooperatif, membimbing kelompok bekerja dan belajar dan masih dilakukan pada fase 5 yaitu evaluasi).

  4. Guru bersama siswa merumuskan pengertian harga jual, harga beli dan cara menentukan besar keuntungan dan kerugian (fase 5 pembelajaran kooperatif, evaluasi).

 
Leave a comment

Posted by on December 4, 2011 in CATEGORI-E

 

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2005

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 19 TAHUN 2005

TENTANG

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Pasal 2

(1) Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:

a. standar isi;

b. standar proses;

c. standar kompetensi lulusan;

d. standar pendidik dan tenaga kependidikan;

e. standar sarana dan prasarana;

f. standar pengelolaan;

g. standar pembiayaan;dan

h. standar penilaian pendidikan.

STANDAR PROSES

Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

Pasal 19

(1) Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan

secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,

memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta

memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan

kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan

fisik serta psikologis peserta didik.

(2) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam

proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.

(3) Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses

pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian

hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran

untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan

efisien.

Pasal 20

Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana

pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya

tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber

belajar, dan penilaian hasil belajar.

Pasal 21

(1) Pelaksanaan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 19 ayat (3) harus memperhatikan jumlah

maksimal peserta didik per kelas dan beban mengajar

maksimal per pendidik, rasio maksimal buku teks pelajaran

setiap peserta didik, dan rasio maksimal jumlah peserta didik

setiap pendidik.

(2) Pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan dengan

mengembangkan budaya membaca dan menulis.

Pasal 22

(1) Penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (3) pada jenjang pendidikan dasar dan

menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai

dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.

(2) Teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan

perseorangan atau kelompok.

(3) Untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu

pengetahuan dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar

dan menengah, teknik penilaian observasi secara individual

sekurang-kurangnya dilaksanakan satu kali dalam satu

semester.

Pasal 23

Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (3) meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi,

pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut yang

diperlukan.

Pasal 24

Standar perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses

pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan

proses pembelajaran dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan

dengan Peraturan Menteri.

Standar Proses

Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selain itu, dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.

Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Proses Pendidikan.

  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 3 Tahun 2008 tentang Standar Proses Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C.

PERATURAN

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 41 TAHUN 2007

TENTANG

STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR
DAN MENENGAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PENDIDIKAN ASIONAL,

Menimbang :

bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pen­didikan, perlu menetapkan Peraturan Men­teri Pendidikan Nasional tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah;

Mengingat :

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lem­baran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Ne­gara Republik Indonesia Nomor 4301);

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidik­an (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lem­baran Negara Republik Indonesia Nomor 4496) ;

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susun­an Organisasi, clan Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai pembentukan Kabinet In­donesia Bersatu sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NA­SIONAL TENTANG STANDAR PROSES UN­TUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH.

Pasal 1

<!–[if !supportLists]–>(1) <!–[endif]–>Standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan me­nengah mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pem­belajaran, dan pengawasan proses pembelajaran.

<!–[if !supportLists]–>(2) <!–[endif]–>Standar Proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ter­cantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal 2

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 23 November 2007

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

TTD.

BAMBANG SUDIBYO

Salinan sesuai dengan aslinya.

Biro Hukum dan Organisasi Departemen Pendidikan Nasional, Kepala Bagian Penyusunan Rancangan

Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,

Muslikh, S.H.

NIP 131479478

LAMPIRAN

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL

NOMOR 41 TAHUN 2007

TANGGAL 23 NOVEMBER 2007

STANDAR PROSES UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

I. PENDAHULUAN

alam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujud­nya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas se­hingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip tersebut adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang ber­langsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien.

Mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik, serta tuntutan untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, proses pembelajaran untuk setiap mata pelajaran harus fleksibel, bervariasi, dan memenuhi standar. Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada sa­tuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, balk pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester.

Standar proses meliputi perencanaan proses pembelajar­an, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pem­belajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk ter­laksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

II. PERENCANAAN PROSES PEMBELAJARAN

Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompe­tensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembela­jaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar.

<!–[if !supportLists]–>A. <!–[endif]–>Silabus

Silabus sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran atau tema pelajaran, SK, KD, ma­teri pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pen­capaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Silabus dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lu­lusan (SKL), serta panduan penyusunan Kurikulum Ting­kat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam pelaksanaannya, pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah/ madrasah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendidikan. Pengembangan silabus di­susun di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang ber­tanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD dan SMP, dan divas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pen­didikan untuk SMA dan SMK, serta departemen yang me­nangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK

<!–[if !supportLists]–>B. <!–[endif]–>Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan ke­giatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan.

Komponen RPP adalah

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Identitas mata pelajaran

Identitas mata pelajaran, meliputi: satuan pendidikan,kelas, semester, program/program keahlian, mata pela­jaran atau tema pelajaran, jumlah pertemuan.

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Standar kompetensi

Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemam­puan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Kompetensi dasar

Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik•dalam mata pelajaran ter­tentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompe­tensi dalam suatu pelajaran.

<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Indikator pencapaian kompetensi

Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilai­an mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja opera­sional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>Tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan ha­sil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar.

<!–[if !supportLists]–>6. <!–[endif]–>Materi ajar

Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan pro­sedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompe­tensi.

<!–[if !supportLists]–>7. <!–[endif]–>Alokasi waktu

Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan un­tuk pencapaian KD dan beban belajar.

<!–[if !supportLists]–>8. <!–[endif]–>Metode pembelajaran

Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembela­jaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemi­lihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situ­asi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. Pendekatan pembelajaran tematik digunakan untuk peserta didik kelas 1 sampai kelas 3 SD/M I.

<!–[if !supportLists]–>9. <!–[endif]–>Kegiatan pembelajaran

<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Pendahuluan

Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan un­tuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.

<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Inti

Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran di­lakukan secara interaktif, inspiratif, menyenang­kan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses.eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Penutup

Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan un­tuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpul­an, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindaklanjut.

<!–[if !supportLists]–>10. <!–[endif]–>Penilaian hasil belajar

Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kom­petensi dan mengacu kepada Standar Penilaian.

<!–[if !supportLists]–>11. <!–[endif]–>Sumber belajar

Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kom­petensi.

<!–[if !supportLists]–>C. <!–[endif]–>Prinsip-prinsip Penyusunan RPP

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Memperhatikan perbedaan individu peserta didik

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Mendorong partisipasi aktif peserta didik

<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat, krea­tivitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar.

  1. Mengembangkan budaya membaca dan menulis Proses pembelajaran dirancang untuk mengembang­kan kegemaran membaca, pemahaman beragam ba­caan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.

<!–[if !supportLists]–>6. <!–[endif]–>Memberikan umpan balik dan tindak lanjut

<!–[if !supportLists]–>7. <!–[endif]–>RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.

<!–[if !supportLists]–>8. <!–[endif]–>Keterkaitan dan keterpaduan

  1. RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, ke­giatan pernlielajaran, indikator pencapaian kompeten­si, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengako­modasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.

<!–[if !supportLists]–>10. <!–[endif]–>Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi

  1. RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegra­si, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.

III. PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN

<!–[if !supportLists]–>A. <!–[endif]–>Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran

1. Rombongan belajar

Jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan be­lajar adalah:

a. SD/MI: 28 peserta didik

b. SMP/MT : 32 peserta didik

c. SMA/MA : 32 peserta did 1k

d. SMK/MAK : 32 peserta didik

2. Beban kerja minimal guru

<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pem­belajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksana­kan tugas tambahan;

  1. beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas adalah se kurang-kurang nya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.

3. Buku teks pelajaran

  1. buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh se­kolah/madrasah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan komite sekolah/madrasah dari buku­buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Menteri;

<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>rasio buku teks pelajaran untuk peserta didik adalah 1 : 1 per mata pelajaran;

  1. selain buku teks pelajaran, guru menggunakan buku panduan guru, buku pengayaan, buku refe­rensi dan sumber belajar lainnya;
  2. guru membiasakan peserta didik menggunakan buku-buku dan sumber belajar lain yang ada di per­pustakaan sekolah/madrasah.

4. Pengelolaan kelas

<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>guru mengatur tempat duduk sesuai dengan ka­rakteristik peserta didik dan mata pelajaran, sertaaktivitas pembelajaran yang akan dilakukan;

<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baikoleh peserta didik; tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik;

<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kece­patan dan kemampuan belajar peserta didik;

<!–[if !supportLists]–>d. <!–[endif]–>guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dan keputusan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran;

<!–[if !supportLists]–>e. <!–[endif]–>guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan hasil belajar peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung;

<!–[if !supportLists]–>f. <!–[endif]–>guru menghargai pendapat peserta didik;

<!–[if !supportLists]–>g. <!–[endif]–>guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi;

<!–[if !supportLists]–>h. <!–[endif]–>pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus mata pelajaran yang diampunya; dan

<!–[if !supportLists]–>i. <!–[endif]–>guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.­

B. Pelaksanaan Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, ::ayiatan inti dan kegiatan penutup.

1. Kegiatan Pendahuluan

Dalam kegiatan pendahuluan, guru:

<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;

<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengait­kan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari;

<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;

<!–[if !supportLists]–>d. <!–[endif]–>menyampaikan cakupan materi dan penjelasanuraian kegiatan sesuai silabus.

2. Kegiatan Inti

Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pem­belajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, me­motivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativi­tas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuai­kan dengan karakteristik peserta didik dan mata pela­jaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.

<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi, guru:

<!–[if !supportLists]–>1). <!–[endif]–>melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prin­sip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;

<!–[if !supportLists]–>2). <!–[endif]–>menggunakan beragam pendekatan pembela­jaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain;

<!–[if !supportLists]–>3). <!–[endif]–>memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;

<!–[if !supportLists]–>4). <!–[endif]–>melibatkan peserta didik secara aktif dalam se­tiap kegiatan pembelajaran; dan

<!–[if !supportLists]–>5). <!–[endif]–>memfasilitasi peserta didik melakukan per­cobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.

<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Elaborasi

Dalarn kegiatan elaborasi, guru:

<!–[if !supportLists]–>1). <!–[endif]–>membiasakan peserta didik membaca dan me­nulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang bermakna;

<!–[if !supportLists]–>2). <!–[endif]–>memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memuncul­kan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;

<!–[if !supportLists]–>3). <!–[endif]–>memberi kesempatan untuk berpikir, menga­nalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;

<!–[if !supportLists]–>4). <!–[endif]–>memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif can kolaboratif;

<!–[if !supportLists]–>5). <!–[endif]–>memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;

<!–[if !supportLists]–>6). <!–[endif]–>rnenfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan balk lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;

<!–[if !supportLists]–>7). <!–[endif]–>memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan r iasi; kerja individual maupun kelompok;

<!–[if !supportLists]–>8). <!–[endif]–>memfasilitasi peserta didik melakukan pamer­an, turnamen, festival, serta produk yang diha­silkan;

<!–[if !supportLists]–>9). <!–[endif]–>memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa per­caya diri peserta didik.

<!–[if !supportLists]–>c. <!–[endif]–>Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, guru:

<!–[if !supportLists]–>1). <!–[endif]–>memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupunhadiah terhadap keberhasilan peserta didik,

<!–[if !supportLists]–>2). <!–[endif]–>memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplo­rasi dan elaborasi peserta didik melalui ber­bagai sumber,

<!–[if !supportLists]–>3). <!–[endif]–>memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,

<!–[if !supportLists]–>4). <!–[endif]–>memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:

<!–[if !supportLists]–>5). <!–[endif]–>berfungsi sebagai narasumber dan fasilita­tor dalam menjawab pertanyaan pesertadidik yang menghadapi kesulitan, denganmenggunakan bahasa yang baku dan be­nar;

<!–[if !supportLists]–>6). <!–[endif]–>membantu menyelesaikan masalah;

<!–[if !supportLists]–>7). <!–[endif]–>memberi acuan agar peserta didik dapatmelakukan pengecekan hasil eksplorasi;

<!–[if !supportLists]–>8). <!–[endif]–>memberi informasi untuk bereksplorasi Iebihjauh;

<!–[if !supportLists]–>9). <!–[endif]–>memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Kegiatan Penutup

Dalam kegiatan penutup, guru:

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran;

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsis­ten dan terprogram;

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;

<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layan­an konseling dan/atau memberikan tugas balk tu­gas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;

<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>menyampaikan iencana pembelajaran pada per­temuan berikutnya.

IV. PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN

Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai hahan penyusunan laporan kema­juan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.

Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan ter­program dengan menggunakan tes dan nontes dalam ben­tuk tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofoiio, dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.

<!–[if !supportLists]–>V. <!–[endif]–>V. PENGAWASAN PROSES PEMBELAJARAN

<!–[if !supportLists]–>A. <!–[endif]–>Pemantauan

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada ta­hap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Pemantauan dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman, wawan­cara, dan dokumentasi.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Kegiatan pemantauan dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.

<!–[if !supportLists]–>B. <!–[endif]–>Supervisi

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pem­belajaran.

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Supervisi pembelajaran diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala dan penga­was satuan pendidikan.

<!–[if !supportLists]–>C. <!–[endif]–>Evaluasi

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk me­nentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran.

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan de­ngan cara:

<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>membandingkan proses pembelajaran yang dilak­sanakan guru dengan standar proses,

<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pem­belajaran sesuai dengan kompetensi guru.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada ke­seluruhan kinerja guru dalam proses pembelajaran.

<!–[if !supportLists]–>D. <!–[endif]–>Pelaporan

Hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi proses pembelajaran dilaporkan kepada pemangku ke­pentingan.

<!–[if !supportLists]–>E. <!–[endif]–>Tindak lanjut

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Penguatan dan penghargaan diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar.

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Teguran yang bersifat mendidik diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Guru diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan/pe­nataran Iebih lanjut.

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,

TTD.

BAMBANG SUDIBYO

Salinan sesuai dengan aslinya.

Biro Hukum dan Organisasi Departemen Pendidikan Nasional, Kepala Bagian Penyusunan Rancangan

Peraturan Perundang-undangan dan Bantuan Hukum I,

Muslikh, S.H

NIP. 131479478

GLOSARIUM

<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–>Afektif

Berkaitan dengan sikap, perasaan dan nilai.

<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–>Alam takam bang jadi guru

Menjadikan alam dalam lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, tempat berguru.

<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–>Beban kerja guru

Sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka da­lam satu minggu, mencakup kegiatan pokok merencana kan pembelajaran, melaksanakanpembelajaran, menilai hasil pembelajaran,membimbing dan melatih peserta didik, sertamelaksanakan tugas tambahan (UU No. 14Tahun 2005 Pasal 35 ayat 1 dan 2).

<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–>Beban maksimal dalam mengorganisasikan proses belajar dan pembelajaran yang ber­mutu : SD/MI/SDLB 27 jam @ 35 menit,SMP/MTs/SMPLB 18 jam @ 40 men it, SAM/MIIISMK/MAK/SMALB 18 jam @ 45 menit(Standar Proses).

<!–[if !supportLists]–>5. <!–[endif]–>Belajar

Perubahan yang relatif permanen dalam kapa­sitas pribadiseseorang sebagai akibat pengo­lahan atas pengalaman yang diperolehnya dan praktik yang dilakukannya.

<!–[if !supportLists]–>6. <!–[endif]–>Belajar aktif

Keg iatan mengolah pengalaman dan atau praktik dengan cara mendengar, membaca, menulis,mendiskusikan, merefleksi rangsangan, dan memecahkan masalah.

<!–[if !supportLists]–>7. <!–[endif]–>Belajar mandiri

Kegiatan alas prakarsa sendiri dalam meng­internalisasi pengetahuan, sikap dan keteram­pilan, tanpa tergantung atau mendapat bim­bingan langsung dari orang lain.

<!–[if !supportLists]–>8. <!–[endif]–>Budaya membaca menulis

Semua kegiatan yang berkenaan dengan kemampuan berbahasa (mendengarkan, berbi­cara, membaca, dan menulis). Proses penu­lisan dilakukan dengan keterlibatan peserta didik dengan tahapan kegiatan: pra penulisan,buram 1, revisi, buram 2, pengecekan tanda baca, dan terakhir publikasi di mana peserta didik menentukan karyanya dimuat di buku kelas, ma­ding, majalah sekolah, atau majalah yang ada di daerah setempat

<!–[if !supportLists]–>9. <!–[endif]–>Daya saing

Kemampuan untuk menunjukkan hasil lebih baik, lebih cepat atau Iebih bermakna.

<!–[if !supportLists]–>10. <!–[endif]–>Indikatorkompetensi

Bukti yang menunjukkan telah dikuasainya kom­petensi dasar

<!–[if !supportLists]–>11. <!–[endif]–>klasikal

Cara mengelola kegiatan belajar dengan sejumlah peserta didik dalam suatu kelas, yang memungkinkan belajar bersama, berkelompokdan individua

<!–[if !supportLists]–>12. <!–[endif]–>kognitif

Berkaitan dengan atau meliputi proses rasional untuk menguasai pengetahuan dan pemahaman konseptual. Periksa taksonomi tujuan belajar kognitif.

<!–[if !supportLists]–>13. <!–[endif]–>kolaboratif

Kerjasama dalam pemecahan maalah dan atau penyelesaian suatu tugas dimana tiap anggota melengkapi.melaksanakan fungsi yang saling mengisi dan

<!–[if !supportLists]–>14. <!–[endif]–>kolokium

Suatu kegiatan akademik dimana seseorang mempresentasikan apa yang telah dipelajari kepada suatu kelompok atau kelas, dan men­ jawab pertanyaan mengenai presentasinya dari anggota kelompok atau kelas.

<!–[if !supportLists]–>15. <!–[endif]–>kompetensi

Seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas­ tugas di bidang pekerjaan tertentu.

Keseluruhan sikap, keterampilan, dan penge­tahuan yang dinyatakan dengan ciri yangdapat diukur

<!–[if !supportLists]–>16. <!–[endif]–>Kompetensi dasar (KD)

Kemampuan minimal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas atau pekerjaan dengan efektif,

<!–[if !supportLists]–>17. <!–[endif]–>Kooperatif

Kegiatan yang dilakukan dalam kelompok demi untuk kepentingan bersama (mutual benefit).

<!–[if !supportLists]–>18. <!–[endif]–>Metakognisi

Kognisi yang lebih komprehensif,meliputi penge­tahuan strategik (mampu membuat ringkasan, menyusun struktur pengetahuan), pengetahuan tentang tugas kognitif (mengetahui tuntutan kognitif untuk berbagai keperluan), dan penge­ tahuan tentang diri (Briggs menggunakan istilah“prinsip”).

<!–[if !supportLists]–>19. <!–[endif]–>paradigma

Cara pandang dan berpikir yang mendasar

<!–[if !supportLists]–>20. <!–[endif]–>pembelajaran

<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkunganbelajar (UU Sisdiknas);

<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Usaha sengaja, terarah dan bertujuan oleh seseorang atau sekelompok orang (terma­suk guru dan penulis buku pelajaran) agarorang lain (termasuk peserta didik), dapatmemperoleh pengalaman yang bermakna.Usaha ini merupakan kegiatan yang berpu­sat pada kepentingan peserta didik.

<!–[if !supportLists]–>21. <!–[endif]–>Pembelajaran berbasis masalah

Pengorganisasian proses belajar yang dikaitkan dengan masalah konkret yang dapat ditinjau dari herbagai disiplin keilmuan atau mata pelajaran. Misalnya rnasalah “bencana alam” yang ditinjau dari pelajaran Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan Agama

<!–[if !supportLists]–>22. <!–[endif]–>Pembelajaran berbasis proyek

Pengorganisasian proses belajar yang dikait­kan dengan suatu objek konkret yang dapat ditinjau dari berbagai disiplin keilmuan atau mata pelajaran. Misalnya objek “sepeda” yang ditinjau dari pelajaran Bahasa, IPA, IPS, dan Penjasorkes.

<!–[if !supportLists]–>23. <!–[endif]–>Penilaian otentik

Usaha untuk mengukur atau memberikan penghargaan atas kemampuan seseorang yang benar-benar menggambarkan apa yang dikuasairya. Penilaian ini dilakukan dengan i berbagai cara seperti tes tertulis, kolokium, portofolio, unjuk kerja, unjuk tindak (berdikusi, berargumentasi, dan lain-lain), observasi dan lain-lain.

<!–[if !supportLists]–>24. <!–[endif]–>portofolio

Suatu berkas karya yang disusun berdasarkan sistematika tert`entu, sebagai bukti penguasaan atas tujuan belajar.

<!–[if !supportLists]–>25. <!–[endif]–>prakarsa

Saya atau kemampuan seseorang atau lembaga untuk memulai sesuatu yang berdampak positif terhadap diri dan lingkungannya.

<!–[if !supportLists]–>26. <!–[endif]–>reflektif

:Berkaitan dengan usaha untuk mengolah atau mentransformasikan rangsangan dari pengin­deraan dengan pengalaman, pengetahuan, dan kepercayaan yang telah dimiliki.

<!–[if !supportLists]–>27. <!–[endif]–>sistematik

:Usaha yang dilakukan secara berurutan agar tujuan dapat dicapai dengan efektif dan efisien.

<!–[if !supportLists]–>28. <!–[endif]–>sistemik

Holistik: cara memandang segala sesuatu se­bagai bagian yang tidak terpisahkan dengan bagian lain yang lebih luas.

<!–[if !supportLists]–>29. <!–[endif]–>standar isi (SI)

:Ruang lingkup mated dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompe­tensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kom­petensi mata pelajaran, dan silabus pembela­jaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu (PP 19 Tahun 2005).

<!–[if !supportLists]–>30. <!–[endif]–>standar kompetensi (SK)

:Ketentuan pokok untuk dijabarkan lebih lanjut dalam serangkaian kemampuan untuk melak­sanakan tugas atau pekerjaan secara efektif.

<!–[if !supportLists]–>31. <!–[endif]–>Standar kompetensi lulusan (SKL)

:Ketentuan pokok untuk menunjukkan kemam­puan melaksanakan tugas atau pekerjaan se­telah mengikuti serangkaian program pembela­jaran.

<!–[if !supportLists]–>32. <!–[endif]–>strategi

:Pendekatan menyeluruh yang berupa pedoman umum dan kerangka kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dan biasanya dijabarkan dari pandangan falsafah atau teori tertentu.

<!–[if !supportLists]–>33. <!–[endif]–>sumber belajar

:Segala sesuatu yang mengandung pesan, baik yang sengaja dikembangkan atau yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengalaman dan atau praktik yang memungkinkan terjadi­nya belajar. Sumber belajar dapat berupa nara­ sumber, buku, media non-buku, teknik dan ling­kungan.

<!–[if !supportLists]–>34. <!–[endif]–>Taksonomi tujuan belajar kognitif

<!–[if !supportLists]–>a. <!–[endif]–>Meliputi pengetahuan, pemahaman, apli­kasi, analisis, sintesis dan evaluasi (Benja­min Bloom dkk, 1956).

<!–[if !supportLists]–>b. <!–[endif]–>Terdiri atas dua dimensi, yaitu dimensi pengetahuan yang terdiri atas faktual, konseptual, prosedural, dan metakognisi, dan dimensi proses kognitif yang meliputi mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi dan mencipta(Lorin W. Anderson dkk, 2001, sebagai re­visi dari taksonomi Bloom dkk.).

<!–[if !supportLists]–>35. <!–[endif]–>tematik

Berkaitan dengan suatu tema yang berupa subjek atau topik yang dijadikan pokok pemba­hasan. Contoh: pembelajaran tematik di kelas I SD dengan tema “Aku dan Keluargaku”. Tema tersebut dijadikan dasar untuk berbagai mata pelajaran, termasuk Bahasa Indonesia, Agama,Matematika dan lain-lain.

 

 
Leave a comment

Posted by on December 4, 2011 in CATEGORI-E

 

PEMBELAJARAN DENGAN MODEL SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE)

Fauziatul Fajaroh dan I Wayan Dasna
Jurusan Kimia FMIPA UM

Apa Siklus Belajar (Learning Cycle) itu?
Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988). Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut.. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach, 2002). Pada LC 6 fase, ditambahkan tahap identifikasi tujuan pembelajaran pada awal kegiatan (Johnston dalam Iskandar, 2005). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi. Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur. Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. Pada fase elaboration (extention), siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem solving. Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Berdasarkan uraian di atas, LC dapat dimplementasikan dalam pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial.

Mengapa Menggunakan Learning Cycle?
LC patut dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al, 1988), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi (Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antar konsep. Konsep yang baru harus diorganisasikan dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988) mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas. Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan organisasi) mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam LC (Abraham et al, 1986). Hubungan tersebut disajikan seperi Gambar 1 (Marek dan Cavallo dalam Dasna, 2005).
Laerning Cycle Phases Mental Functioning
Eksplorasi
Asimilasi

ketidakseimbangan

Pengenalan Konsep
Akomodasi

Aplikasi Konsep
Organisasi

Gambar 1 Hubungan Fase-fase dalam LC dengan Teori Piaget

Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi.
Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sain di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1. meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
2. membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3. pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio, 2000):
1. efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran
2. menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3. memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4. memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
Bagaimana Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran?
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan pembelajaran. Tabel 1 menyajikan beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan dalam tiap fase LC 5E.

Tabel 1 Aktivitas Belajar dalam Tiap Fase LC 5E

Fase Aktivitas Belajar/ Metode
Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar • Demonstrasi oleh guru atau siswa
• Tanya jawab dalam rangka mengeksplorasi pengetahuan awal, pengalaman, dan ide-ide pebelajar
• Pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi
Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide • Demonstrasi
• Praktikum
• Mengerjakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa)
Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. • Mengkaji literatur
• Diskusi Kelas

Elaboration (extention) : siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru. • Demontrasi lanjutan
• Praktikum lanjutan
• Problem solving
Evaluation : evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. • Refleksi pelaksanaan pembelajaran
• Tes tulis
• Problem solving

Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan « Konsep apa yang akan diberikan ? » atau « Kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ? » dan « Aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ? ». Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah :
1. Tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo, 2001)
Berikut ini akan disajikan contoh penerapan LC dalam pembelajaran kimia di SMA.

Contoh Penerapan Learning Cycle dalam Pembelajaran
Uraian dalam paragrap ini menyajikan penerapan LC 5E dalam pembelajaran zat aditif di SMA (Fajaroh dan Dasna, 2004) yang terdiri atas 3 siklus.

1. Siklus 1
Skenario

TPK: Siswa dapat menjelaskan tujuan pemanfaatan zat pewarna makanan, klasifikasi serta aturan pemakaian zat pewarna makanan

Fase Kegiatan Guru Kegiatan
1

2

3

4

5 Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk membangkitkan motivasi belajar dan menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang:
1. kebiasaan yang biasanya dilakukan orang dalam mengolah makanan dalam kaitannya dengan zat pewarna makanan.
2. tujuan penambahan zat pewarna pada pengolahan makanan tersebut
3. kaitan antara penambahan zat pewarna makanan dengan peningkatan nilai gizi makanan.
4. perlu tidaknya aturan pemakaian zat pewarna makanan
5. bagaimana membedakan pewarna alami dan sintetis

Membimbing siswa melaksanakan Kegiatan I (Klasifikasi Zat Pewarna Makanan) yakni LKS 1 No. 1.1 sampai 1.4.

Membimbing diskusi kelas dan menggiring siswa untuk sampai pada kesimpulan bahwa:
(1) penambahan zat pewarna tersebut semata-mata tidak mempengaruhi nilai gizi makanan tapi agar penampilan makanan tersebut lebih menarik untuk memancing selera dan mungkin untuk meningkatkan rasa makanan,
(2) perlunya aturan pemakaian zat pewarna,
(3) ciri-ciri zat pewarna sintetis, (4) kelebihan dan kerugian pemakaian zat pewarna makanan

Menugaskan siswa menjelaskan cara membedakan pewarna sistetis dan alami secara percobaan (LKS 1 No. 1.5)

Memberikan soal tes:
(1) Sebutkan minimal 2 alasan mengapa orang menggunakan pewarna makanan sebagai zat aditif?
(2) Sebutkan minimal 3 contoh pewarna alami
(3) Apa kelebihan pewarna sintetis dibanding alami?
(4) Apa kekurangan pewarna sintetis disbanding alami? Diskusi kelas

Melaksanakan Kegiatan I
Diskusi Kelompok

Presentasi kelompok dan Diskusi Kelas

Melakukan percobaan 1.5
Diskusi Kelompok

Menyelesaikan soal tes secara individual

LKS 1

Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut secara berkelompok pada Lembar Jawaban/Pengamatan yang telah disediakan!

1.1 Tuliskan nama dan warna “jajanan” yang tersedia pada kelompok Anda!
1.2 Menurut Anda dari bahan pewarna pada “jajanan” tersebut? (bahan pewarna sintetis atau alami). Jelaskan Jawaban anda!
1.3 Bagaimana ciri-ciri bahan pewarna sintetis dan alami? Bandingkan warna makanan dari kunir atau daun suji dengan warna saus “tanpa merk”!
1.4 Bagaimana cara Anda membedakan bahan makanan yang mengandung zat pewarna sintetis dengan bahan makanan yangmengandung zat pewarna alami?
1.5 Kerjakan kegiatan berikut ini:
Pilih 4 orang anggota kelompokmu, sebut saja siswa A, B, C, dan D
Siswa A : ambil sedikit saos tomat merk “Indofood” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa B : Ambillah sedikit saos tomat dalam botol besar merk “X” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa C : Ambillah sedikit saos tomat “tanpa merk” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa D : Geruslah sedikit tomat sampai halus, lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan tomat halus tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Kemudian cucilah tangan Anda dan catat warna yang membekas pada tangan Anda. Tarik kesimpulan percobaan Anda!

2. Siklus II
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan dampak pemakaian pewarna berbahaya bagi kesehatan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1

2

3

4

5 Memancing keingintahuan siswa tentang efek interaksi dinding usus sapi dengan bermacam-macam pewarna dengan mengingatkan kembali hasil percobaan 1.5 (pengolesan bermacam-macam pewarna makanan pada kulit).

Menugaskan siswa melaksanakan praktikum efek interaksi dinding usus sapi dengan rhodamin-B (pewarna tekstil), saos bermerk A dan B (LKS 2).

Membimbing diskusi hasil percobaan.

Mengajak siswa mendiskusikan fenomena penyalahgunaan zat warna di masyarakat serta dampaknya bagi kesehatan.

Memberikan soal tes:
(1) Sebutkan cara-cara membedakan pewarna sintetis dan alami
(2) Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan zat warna?
(3) Apa dampaknya bagi kesehatan? Menjawab pertanyaan guru secara berkelompok

Melaksanakan praktikum

Presentasi kelompok
Diskusi Kelas

Diskusi Kelas

Menyelesaikan soal tes

LKS 2
Lakukan Kegiatan Berikut secara Berkelompok dan Catat Hasil Pengamatan Anda pada Lembar yang Tersedia!
1. Siapkan 10 g saos merk Indofood, Cherry, dan tomat halus, masing-masing larutkan dalam 10 mL air
2. Masukkan larutan-larutan saos tersebut masing-masing ke dalam potongan usus sapi yang sudah diikat salah satu ujungnya.
3. Ikat ujung usus lainnya, kemudian gantung pada statif dan diamkan selama 45 menit.
4. Keluarkan saos dari usus, cuci usus sampai bersih, amati kemungkinan ada tidaknya zat warna yang tertinggal pada dinding usus, catat hasil pengamatanmu pada lembar pengamatan!
5. Tarik kesimpulan dari percobaan ini
3. Siklus 3
Skenario

TPK: siswa dapat mengidentifikasi pewarna berbahaya pada makanan

Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1

2

3

4

5 Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang berbahaya tidaknya penyalahgunaan zat-zat pewarna non-makanan untuk makanan.

Menugaskan siswa melaksanakan praktikum identifikasi kandungan pewarna berbahaya (Rhodamin-B) pada bermacam-macam saos dengan teknik kromatografi kertas dan spot test (LKS 3).

Membimbing diskusi hasil percobaan.

Memberikan pertanyaan kepada kelompok siswa:
(1) Apakah teknik kromatografi kertas dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
(2) Apakah teknik spot test dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?

Memberikan soal:
Sebutkan cara-cara fisik dan kimia yang dapat dilakukan untuk mendeteksi pewarna berbahaya pada makanan!
Diskusi kelas

Praktikum

Presentasi kelompok

Diskusi dan presentasi

Menyelesaikan soal tes

LKS 3

3.1 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Tes Warna
a. Isi 4 lubang pada pelat tetes masing-masing dengan 1 tetes larutan Rhodamin-B
b. Tambahkan lubang 1 dengan setetes H2SO4
Tambahkan lubang 2 dengan setetes HCl
Tambahkan lubang 3 dengan setetes NaOH
Tambahkan lubang 4 dengan setetesNH4OH
c. Biarkan campuran tersebut kurang lebih 2 menit dan amati perubahan warna yang terjadi
d. Lakukan langkah a s.d. c untuk menguji perubahan warna larutan sampel X dan Y bila ditetesi dengan larutan-larutan H2SO4, HCl, NaOH, dan NH4OH
e. Apakah larutan X dan Y mengandung Rhodamin-B

3.2 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Kromatografi Kertas
a. Ke dalam beaker glass yang dinding bagian dalamnya telah dilapisi kertas saring, masukkan 25 mL larutan eluen
b. Siapkan kertas kromatografi dan buatlah garis melintang sekitar 1 cm
dari kedua ujungnya.
c. Siapkan titik noda larutan Rhodamin-B, larutan X, dan larutan Y pada
salah satu garis melintang tersebut dengan pipa kapiler. Atur ketiga noda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak berimpit.
d. Lakukan proses elusi sampai eluen mencapai tanda batas.
e. Angkat dan keringkan kertas dengan cara diangin-anginkan.Bandingkan Rf noda Rhodamin-B, X, dan Y.
f. Tarik kesimpulan dari percobaan ini.

 

 
Leave a comment

Posted by on December 4, 2011 in CATEGORI-E